Saturday 25 May 2013

Ulasan Mengenai Majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso Untuk RI 1: Dan Jenderal Djoko Pun Menangis



Ulasan Mengenai Majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso Untuk RI 1: Dan Jenderal Djoko Pun Menangis





Rohman, Arif. (2013). Ulasan mengenai majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso untuk RI 1: Dan Jenderal Djoko pun menangis. Gerbang Indonesia, 1(2).



Tulisan ini sengaja saya tulis karena merasa tergelitik menanggapi kesiapan Pak Djoko Santoso untuk maju sebagai calon presiden Republik Indonesia pada pemilu 2014. Saya juga minta maaf karena kesibukan saya selama kuliah PhD di Charles Sturt University Australia sehingga jarang menengok dan menulis di blog ini lagi.

Tulisan ini dimaksudkan untuk para pembaca yang masih awam dengan sosok beliau dan memiliki rasa keingintahuan yang lebih terhadap pribadi beliau. Perkenalan saya dengan Pak Djoko Santoso dimulai pada tahun 2003 ketika saya masih kuliah S2 di Kajian Pengembangan Perkotaan UI.

Pada waktu itu salah seorang dosen favorit saya semasa kuliah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, sakit dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Jakarta. Sebagai seseorang yang baru satu dua tahun merantau di Jakarta tentu saja saya masih awam tentang prosedur rumah sakit dan segala tetek bengeknya.

Pada waktu itu jam 11 pagi kita sampai di rumah sakit dan kebetulan saya yang menunggui karena kebetulan tidak ada kuliah. Dosen saya mengerang kesakitan sampai saya tidak tega melihatnya. Hal yang membuat kami berdua jengkel pada waktu itu adalah perawat dan dokter sudah menanyakan/mendiagnosis si sakit dengan serangkaian pertanyaan dan semua telah dijawab oleh dosen saya walaupun dengan merintih kesakitan. Anehnya, setelah itu beberapa orang (sepertinya mereka yang lagi koas) bolak-balik menanyakan hal yang sama berkali-kali tapi tanpa ada tindakan yang diambil sampai hari menjelang sore.

Tentu saja saya khawatir banget karena keluarga beliau ada di Bandung. Karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit dan tidak mendapat tindakan tapi justru ditanyai terus-terusan terang saja saya jadi emosi. Kemudian saya bilang, Mas, beliau ini sakit dan sudah menahan sakit tapi ditanya terus-terusan dengan pertanyaan yang sama sampai 4-5 kali dengan orang yang berbeda tanpa tindakan apapun. Mbok ya mikir dong. Koas sih boleh tapi kok caranya serabutan kayak gini? Dosen saya kemudian bilang ke saya, ini uang Rp 100,000,- telpon nomor ini.

Namanya Djoko Santoso. Bilang adiknya sakit di RSCM. Dia Mayjen. Lagi latihan tempur di Sukabumi?? Terus langsung saja saya cari wartel terdekat dan saya menelpon ke nomor tersebut. Yang menjawab ternyata masih muda dan saya langsung berpikir itu ajudannya. Saya bilang tolong disampaikan ke Pak Djoko Santoso kalau adiknya sedang sakit di RSCM dan sampai sekarang belum ada tindakan.

Saya juga menelpon untuk mengabari isteri dan keluarganya yang di Bandung. Tak berselang berapa lama, datanglah Pak Djoko Santoso dengan berpakaian dinas dan diapit dua ajudannya. Beliau berkata, belum sempat ganti baju karena langsung buru-buru ke RSCM begitu dapat kabar. Penampilan beliau low profile, ramah dan murah senyum. Dia memijiti dosen saya dan berkata semoga ini hanya masuk angin biasa.

Setelah itu beliau ganti baju batik dan kami ngobrol sambil menghibur si sakit. Kesan pertama saya pada Pak Djoko Santoso adalah beliau tidak seperti bayangan saya tentang jenderal selama ini. Beliau baik dan merakyat. Setelah berbincang-bincang datanglah dokter dan perawat yang memberitahukan kalau penyakitnya adalah usus buntu dan harus dioperasi. Kami akhirnya keluar dan beliau mengajak saya cari makan. Coba tebak, kami berempat akhirnya makan indomie rebus di pinggir trotoar! Saya sih sudah biasa bahkan itu makanan saya sehari-hari karena teman-teman kuliah di UI bahkan menjuluki saya mahasiswa gelandangan karena hidup saya yang serba pas-pasan dan saya kebetulan dibimbing oleh Alm. Professor Parsudi Suparlan yang memang ahli di bidang gelandangan.

Tapi untuk seukuran jenderal? Bagi saya memang luar biasa. Saya pun bertanya, Lho pak, bukannya Bapak seorang jenderal? Apa tidak malu makan indomie di pinggir jalan kayak gini (maksudnya banyak debu). Beliau pun menjawab, Ahhh.... Sama saja. Makan di restoran mewah sama di pinggir jalan sama saja rasanya. Asal kita lapar akan terasa enak. Yang membedakan suasananya saja. Kami pun mengobrol tentang kuliah saya di Bandung dan di UI saat itu. Beliau bilang harus belajar yang tekun untuk meraih cita-cita.

Saya bilang saya adalah mahasiswa terbaik STKS tahun 2000 tapi kenapa karier dan pekerjaan saya tidak sebagus teman-teman yang lain. Padahal kalau saya dapat pekerjaan yang baik, Ibu saya pasti akan senang dan saya bisa membahagiakan Ibu saya. Beliaupun berkata, dalam karier pasti ada naik turun. Beliau bilang kalau beliau sejatinya adalah lulusan terbaik Akabri tahun 1975?? Tetapi dalam pekerjaan awalnya justru sempat mengalami kesulitan dan dihina temannya. Akhirnya beliau memutuskan untuk tetap bekerja dengan baik dan membuktikan siapa yang nantinya akan jadi Jenderal duluan.

Akhirnya teman beliau masih letkol tapi beliau sudah brigjen. Kata beliau selagi saya rajin dan bekerja dengan baik dan tekun belajar saya pasti bisa meraih apa yang saya cita-citakan. Obrolan singkat ini mengena di hati saya. Kita buktikan siapa yang Jenderal duluan. Aduhhh... Merinding gw... Kemudian kami masuk untuk melihat jalannya operasi. Sudah datang pada waktu itu adik perempuan Pak Djoko. Selama persiapan operasi, dosen saya sempat bercanda karena kaos dalamnya digunting dokter yang susah melepasnya karena ada selang infus. Ganti ya dok? Dokter dan para perawat pun tertawa karena dalam kondisi seperti itu masih bisa bercanda.

Akhirnya operasi dimulai. Pak Djoko pun sholat bersama ajudannya dan saya menunggu bersama kakak perempuannya. Selama menunggu, iseng saya menghampiri seorang ibu-ibu yang duduk terpekur sambil menahan tangis. Ada apa Ibu? Kok sepertinya sedang menangis? Ibu itu sambil sesenggukan bilang kalau anak perempuannya korban penggusuran di daerah Tanjung Priok lagi hamil dan jatuh dari tangga dan akhirnya keguguran.

Karena tidak punya beaya akhirnya dia bawa ke dukun. Sama dukun dirogoh tapi ternyata ada tangan bayi yang ketinggalan di dalam perut yang mengakibatkan rahimnya membusuk. Kalau tidak segera dioperasi malam ini, dokter tidak menjamin keselamatannya. Terus kenapa Ibu menangis? Ternyata untuk bisa dioperasi harus membayar uang muka Rp 700,000,- dan Ibu itu sepertinya tidak punya uang. Lha emang suaminya dimana? Itu... Di pojokan. Dia ga punya duit. Kerjaannya aja ngamen.

Saya lihat ternyata suaminya masih muda banget. Masih anak-anak. Mungkin baru lulusan SMP atau seusia anak SMA. Terus gimana dong? Ibu itu malah menangis... Saya ingin membantu tapi tidak punya uang. Akhirnya saya ceritakan ke kakak perempuan dosen saya. Kakak perempuan dosen saya bilang, ceritakan sama Mas Djoko... Ceritakan sama Mas Djoko... Dia lagi sholat dan habis itu dia mau balik ke Sukabumi. Ceritakan sama Mas Djoko... Akhirnya Pak Djoko Santoso datang dengan seragam lengkap karena harus balik untuk latihan tempur di Sukabumi.

Saya kemudian menceritakan tentang kisah Ibu yang ada di pojok ruangan sebelah. Adapun yang membuat saya kaget, terkejut dan merinding adalah setelah mendengar cerita saya, air mata beliau langsung jatuh bercucuran. Baru kali ini dalam hidup saya melihat seorang jenderal menangis! Saya bisa melihat air mata beliau yang keluar secara spontan dan tidak dibuat-buat karena di tempat itu hanya ada saya dan beliau. Mana Ibu itu? Itu pak di sana. Tanpa babibu dan basa basi dikeluarkannya uang 700 ribu dari dompetnya dan dikasih ke Ibu itu. Ibu... Ini ada sedikit uang untuk membantu biaya operasi anak Ibu... Terus Pak Djokonya turun tangga. Ibu yang menerima uang itu seperti orang yang kaget dan tidak sadar. Bapak itu siapa? Bapak itu siapa? Bapak itu siapa? Kenapa baik sama saya? Saya tidak kenal... Tidak sanak tidak kadang kenapa mau membantu saya? Ibu itu mengira yang ngasih dia uang itu mungkin seorang malaikat.

Kemudian saya menghampiri dan bilang kalau bapak yang ngasih uang itu namanya Djoko Santoso. Beliau adalah mayor jenderal. Terus Ibu itu pun menangis dan berkata, Bapak itu sungguh baik sekali. Saya doakan semoga kariernya cepat naik. Semoga diberikan kemudahan dan kelancaran kariernya. Saya pun bilang Amien. Terus saya ketemu dengan adik perempuannya lagi. Kata beliau, Mas Djoko memang orangnya lain. Dia suka bantu orang. Kami 9 bersaudara dia yang tertua. Dan dia bilang akan ngemong/mengasuh kami semua sampai jadi orang (menikah dan dapat pekerjaan).

Dia berjanji tidak akan menikah sebelum semua adik-adiknya mapan. Dan itu dia tepati. Begitu sayangnya dia dengan keluarganya begitupun kami sayang sama Mas Djoko. Sehabis moment itu pun saya bilang pada diri saya. Orang ini orang hebat. Gila... Gw ketemu orang hebat. Orang ini bener-bener orang hebat. Ada jenderal yang begitu sayang dengan keluarga, berkorban untuk keluarga dan murah hati. Pengalaman ini bagi saya begitu berharga dan saya akan terus mengingatnya. Jarang saya memuji orang tapi kali ini adalah pengecualian.

Semoga Pak Djoko Santoso jadi orang yang hebat lagi dan kariernya bisa menanjak. Pertemuan saya yang kedua adalah ketika saya menjadi relawan/volunteer perlindungan anak korban tsunami dengan UNICEF di Aceh pada tahun 2005. Pada waktu itu saya kebagian tugas di Indrapuri. Kami para relawan tidur di lapangan di tenda depan Masjid Indrapuri bersama para pengungsi lainnya. Indrapuri adalah daerah yang pada waktu itu dianggap tidak aman terkait dengan konflik gerakan aceh merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia.

Jadi Indrapuri dan Montasik termasuk daerah merah. Setiap malam jam 2 selalu mulai terdengar suara tembak-tembakan. Karena takut kena peluru nyasar, saya biasanya masuk tenda dan tidur. Entah kebetulan atau bagaimana Pak Djoko Santoso kebetulan meninjau lokasi di Indrapuri. Begitu gagahnya. Sepertinya memberikan briefing singkat di lapangan terkait dengan penanganan pengungsi terus beliau pergi.

Saya tidak ada kesempatan menyapa karena hiruk pikuk pengungsi waktu itu. Karena kebetulan kami mandinya numpang di rumah penduduk dan kebetulan rumah tersebut pada waktu itu ditempati para tentara gabungan maka saya iseng-iseng nanya. Gimana dengan Jenderal yang tadi siang datang. Mereka bilang Jenderal satu ini memang merakyat. Mau menyapa saya yang cuma lulusan catam. Menurutnya disapa seorang Jenderal adalah sebuah kebanggaan dan anugerah?? Selepas itu saya dengar karier beliau memang menanjak pesat dari Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad dan akhirnya Panglima TNI! Kerennn... Kemudian saya berpikir jangan-jangan karena doa Ibu yang di RSCM waktu itu? Atau bisa jadi doa seluruh anggota keluarganya, atau memang garis tangan beliau yang bagus disamping kecakapan dan kemampuannya sebagai tentara/prajurit TNI? Pertemuan saya yang ketiga adalah ketika pergi melayat keponakan beliau yang meninggal karena kanker. Keponakannya tersebut adalah mahasiswi Universitas Indonesia.

Saya melihat bagaimana beliau wajahnya sedih sekali pada waktu tahlilan. Saya pun memberanikan beliau menyapa dan bertanya apakah masih ingat saya pas di RSCM. Beliau bilang masih. Terus saya sampaikan bahwa saya sudah lulus S2 di UI dan S2 di Australia dan sekarang bekerja di Kementerian Sosial. Beliau bilang syukur Alhamdulillah dan berpesan agar bekerja dengan baik. Karena beliau masih dalam kondisi berduka maka saya tidak mau mengganggu terlalu lama.

Bagi saya beliau adalah orang yang santun dan bijak. Kalau saja orang seperti ini memimpin negara Indonesia di masa yang akan datang??? Pertemuan saya yang keempat dan terakhir adalah ketika saya mau berangkat study PhD di Australia. Kebetulan sempat mampir ke rumah beliau untuk pamitan. Beliau bilang kamu harus sekolah... Kamu harus sekolah... Saya memang anak yang suka iseng makanya saya bertanya apakah Bapak tidak tertarik mencalonkan diri jadi presiden? Beliau bilang tidak. Menurutnya sudah jadi prajurit saja sudah syukur, apalagi bisa jadi Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad, dan Panglima TNI.

Sudah tidak muluk-muluk. Sekarang sudah purnawirawan jadi mau beribadah saja. Rasul saja wafat usia 63 tahun. Terus saya bilang kalau masyarakatnya yang ingin bagamana Pak? Iya masyarakat ingin silahkan saja tapi saya merasa tidak mampu. Mengurus negara itu berat. Mungkin ada yang lain yang lebih mampu dan lebih sanggup. Baik, tapi seandainya Bapak saat ini jadi Presiden RI apa yang Bapak lakukan? Ini kalau seandainya ya. Yang pertama dibenahi itu soal nasionalisme. Nasionalisme, rasa cinta tanah air saat ini sudah semakin pudar.

Tanpa nasionalisme kita akan sulit berkembang. Penanaman nasionalisme itu bisa lewat 3 hal: olah raga, kegiatan rekreasi/cinta alam seperti mendaki gunung, panjat tebing, camping yang semuanya bisa mengingatkan kita semua akan keindahan nusantara ini, serta kuliner Indonesia yang beragam dan kaya. Kesemuanya ini akan membuat kita semua bangga, bersatu dan bekerja untuk memajukan tanah air. Sayapun kembali bertanya. Jadi Bapak tidak mencalonkan jadi presiden Pak? Untuk saat ini saya belum merasa mampu. Mau ibadah saja. Gila... Dalam hati saya. Jawabannya halus banget. Maaf Pak, jadi Bapak benar tidak bersedia maju, kalau masyarakat menghendaki Bapak bagaimana? Beliaupun menjawab, ahhh... Tidak muluk-muluk. Kita juga tidak punya apa-apa, partai juga tidak punya... Aihhh... Sayapun jadi sedih dan trenyuh mendengarkan jawaban beliau. Kalau saya bisa, harusnya orang seperti ini diberikan kesempatan memimpin negara ini. Tapi apalah arti suara orang semacam saya yang cuman orang desa dari kampung Tanubayan Demak yang tidak punya kekuasaan dan pengaruh. Sebelum berangkat ke Australia, saya sempat bercerita masalah ini ke Ibu saya terkait tentang Pak Djoko Santoso. Kata Ibu saya, dari ceritamu kelihatannya Pak Djoko itu orang baik. Iya Ibu... Cuman sayangnya tidak punya modal dan partai buat mencalonkan diri. Ibu sayapun tersenyum dan menceritakan kisah yang sangat menyentuh hati saya. Jaman dahulu di kampungnya Cabean?? Demak. Ada anak kepala desa yang mencalonkan diri jadi kepala desa. Anaknya santun, sopan dan baik akhlaknya serta akhirnya terpilih jadi kepala desa.

Semasa dia memerintah, dia dedikasikan seluruh harta, tenaga dan pikirannya untuk warganya. Setiap ada anak muda kelahi dan tawuran dia yang menebus di kantor polisi bahkan pakai uang sendiri karena tidak ada kas desa. Begitu juga kalau ada orang kesusahan. Singkat cerita jadi kepala desa bukannya jadi kaya malah tambah miskin. Ceritanya jadi semakin sedih ketika dia bermaksud mencalonkan lagi jadi kepala desa tetapi tidak ada uang. Sedangkan saingannya adalah orang kaya pengusaha yang berduit. Tersiar kabar saingannya tersebut sudah memberikan uang sepuluh ribu/dua puluh ribu tiap rumah, plus jarik/kain kebaya dan sarung di setiap rumah dan sudah dipastikan mayoritas akan memberikan suaranya ke pengusaha itu.

Anak muda yang ingin mencalonkan lagi itupun sedih bukan main. Tapi karena niatnya tulus, lurus dan memang ingin berbakti ke kampungnya akhirnya dia menebalkan muka dan meminta restu dari warga door to door dari pintu ke pintu untuk mencalonkan lagi. Dia jujur mengatakan tidak punya uang/harta untuk diberikan sebagaimana yang diberikan oleh pengusaha saingannya tersebut. Sedihnya, setiap rumah yang didatangi justru menangis dan bilang saya akan memilihmu tetapi ada syarat. Apa itu? Setelah terpilih kepala desa kamu harus menikah dan menata hidupmu.

Hampir semua pemuda dan warga yang trenyuh dengan anak muda tersebut bergerak dan pada akhirnya pemilihan kepala desa itu dimenangkan oleh anak muda yang nota bene adalah kepala desa. Tuhan tidak buta dan pasti akan memberikan jalan asal niatnya tulus dan baik. Cerita tersebut sangat menginspirasi saya. Bagi saya dalam konteks pencalonan diri Pak Djoko Santoso, yang tak punya modal dan partai yang mengusungny tapi saya percaya jika Tuhan nenghendaki pasti ada jalannya. Dan kemarin saya mendengar kalau beliau merasa sudah siap ikut pencalonan Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019.

Saya berdoa semoga beliau diberikan kelancaran kemudahan dan kesempatan untuk memimpin negeri ini. Beliau orang baik... Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa mendukung beliau jadi calon presiden alternatif untuk Presiden RI Periode 2014-2019.



Wagga Wagga, 24 Mei 2013

[1] Arif Rohman is a PhD Scholar at Charles Sturt University, Australia. He can be reached at: arohman@csu.edu.au.


No comments: